Budaya Populer: Transformasi Pendidikan Multikultural melalui Musik dan Film

Firya Faiza, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Di tengah gempuran teknologi informasi yang sedemikian masifnya, budaya populer kian pengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat. Di antara kelompok masyarakat, populasi urban menjadi yang paling dekat dengan sejumlah budaya populer, sebut saja musik dan film. Wajar saja, kehidupan melelahkan perkotaan telah membelenggu masyarakatnya dari kehidupan sosial yang komunal, swadaya produksi, atau sekedar menikmati lingkungan alami.

Keberadaan gawai pun seakan jadi jawaban guna mengisi waktu luang usai seharian bergelut dengan kesibukan masing-masing. Dengan peranti itu, kita bisa menjelajahi dunia dari ujung ke ujung, sedangkan fisik kita secara literal sedang berdiam di bilik yang luasnya tak lebih dari sekelebat pandangan.

Musik dan film merupakan manifestasi budaya populer yang keberadaannya integral dengan kehidupan masyarakat modern. Kedua bentuk seni tersebut menyediakan pengalaman hiburan dengan merangsang emosi manusia sebagai penikmatnya.

Sementara itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi telah mengakibatkan jumlah produksi musik dan film pada dekade ini meningkat dari yang pernah ada. International Federation of the Phonographic Industry mencatat peningkatan penjualan musik rekaman di seluruh dunia pada tahun 2022 sebesar 9%, dengan total penjualan $26,2 miliar.

Sementara itu, badai pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu sempat melumpuhkan industri film global. Gower Street Analytics, perusahaan riset yang fokus pada industri perfilman memperkirakan pendapatan box office sebesar $25,9 miliar pada tahun 2022. Meskipun mengalami peningkatan sebesar 27% dibandingkan tahun sebelumnya, namun angka ini masih 35% berada di bawah rata-rata pra-pandemi.

Musik dan film, sebagai bentuk seni yang universal, dapat menjadi sarana untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang. Musik dan film menghadirkan pengalaman-pengalaman yang dapat dirasakan semua orang, seperti cinta, kehilangan, keberanian, dan semangat.

Keragaman budaya dan bahasa di dalam suatu masyarakat yang kerap diperlihatkan di dalam film merupakan suatu nilai lebih dalam memperkuat kesadaran multikultural.

Pengalaman-pengalaman yang dihadirkan dalam musik dan film dapat menjadi topik pembicaraan menarik yang membuka ruang dialog lebih dalam.

Berbicara tentang kesadaran multikultural, tentu tak lepas dari bagaimana kesadaran itu dibangun. Pendidikan merupakan alternatif yang paling memungkinkan untuk mengontruksi cara berpikir yang multikulturalis.

Pendidikan multikultural menggunakan pendekatan yang bertujuan untuk menghormati, memahami, serta mempromosikan keberagaman aspek budaya dan etnisitas.

Dengan pendekatan ini, individu dapat mengetahui heterogenitas budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang berbeda, serta memahami bahwa keberagaman bukanlah merupakan sebuah ancaman, melainkan aset yang harus dipertahankan.

Bila menengok pada kenyataan di depan mata, idealitas semacam itu hampir terlihat sebagai sebuah euforia. Setidaknya setengah euforia. Kabar tentang intoleransi dan diskriminasi masih terlalu akrab di telinga kita, sebab diskriminasi tak suka pilah-pilih waktu dan tempat. Dari ruang publik, tempat kerja, restoran, transportasi umum, hingga sekolah dan universitas.

Miris, institusi pendidikan yang diyakini sebagai ujung tombak pembangunan masyarakat pun tak lepas dari jeratan oknum yang merasa diri dan kelompoknya superior. Kasus yang sempat viral beberapa waktu lalu agaknya cukup menjadi tamparan tentang urgensi pendidikan multikultural di era ini, di mana salah seorang siswa nonmuslim dipaksa berhijab oleh pihak sekolah.

Kejadian yang berujung rekonsiliasi antara pihak sekolah dan orang tua si pelajar ini merupakan bentuk pencorengan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, disebabkan kasus ini terjadi pada ranah pendidikan, secara otomatis oknum tersebut telah melanggar UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Padahal, pada Pasal 4 ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Sulit untuk memastikan penyebab absolut dari perilaku diskriminatif dikarenakan kompleksitas faktor yang melatarbelakanginya. Berdasarkan pengamatan dan analisis saya sejauh ini, tiga hal yang paling memengaruhi pola perilaku tersebut adalah upaya pertahanan status quo, budaya stereotip, dan ketidaktahuan serta kurangnya pengalaman.

Manusia cenderung nyaman dengan kemapanan sehingga tak ingin ada pihak lain yang merebut kenyamanan tersebut darinya. Kebutuhan untuk mempertahankan status quo dapat menyebabkan perilaku diskriminatif terhadap individu atau kelompok tertentu yang dianggap sebagai ancaman. Mengenai budaya stereotip, sebagian masyarakat Indonesia kerap mempolarisasikan kelompok-kelompok dengan stereotip tertentu.

Misalnya, kepercayaan bahwa orang-orang dari suku tertentu memiliki karakter yang lebih terpuji atau tercela. Terakhir, kurangnya kesadaran multikultural yang disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan pengalaman. Hal ini relevan sebagaimana kutipan dari karakter komik strip karya Reg Smythe, Andy Capp, “orang yang paling sedikit tahu selalu tampak seperti yang paling mengetahui.”

Jika kita jeli, tentulah situasi semacam ini telah menjadi urgensi yang luar biasa, sehingga dibutuhkan pemecahan masalah yang bersifat akar rumput. Apabila tak segera ditangani, ditakutkan permasalahan diskriminasi ini malah memborok dari waktu ke waktu. Bukan tak mungkin konflik etnisitas yang menelan korban kembali terjadi, apalagi ceruk kebencian kini kian melebar seiring masifnya penggunaan sosial media.

Pendidikan multikultural agaknya menjadi solusi akar rumput yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Budaya populer dapat memainkan peran penting dalam mengubah paradigma yang monokulturalis menjadi multikulturalis.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa musik dan film sebagai perwujudan budaya populer dapat menjadi sarana integrasi antar budaya, bahasa, agama, dan etnis yang ada di Indonesia.

Transformasi pendidikan multikultural berbasis budaya populer diharapkan dapat membantu mengubah paradigma serta menciptakan masyarakat yang lebih harmonis. Oleh karena itu, penting untuk terus mengembangkan pendekatan pendidikan multikultural yang lebih inklusif dan mengintegrasikan budaya populer sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

Biodata Singkat

Nama: Firya Faiza

Tempat, tanggal lahir: Lhokseumawe, 06 Mei 2004

Instansi: Universitas Syiah Kuala

Komentar