Bahas Tentang Pertambangan, Komisi II DPRA Gelar RDPU

BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui Komisi II telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang memfokuskan perhatiannya pada Rancangan Qanun Aceh yang mengubah peraturan Qanun Aceh Nomor 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batu Bara. Rapat ini berlangsung pada Senin, 30 Oktober 2023, di Gedung Utama DPRA.

Ketua DPRA, Zulfadhli, memaparkan pentingnya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam mengatur aturan yang terkait dengan industri pertambangan mineral dan batu bara. Dia menyadari bahwa sumber daya alam ini adalah aset tak terbarukan yang perlu dikelola secara efisien, transparan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan adil agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat Aceh.

Menurutnya, UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara memberikan dasar hukum bagi pemerintah Aceh untuk mengatur sendiri kegiatan pertambangan melalui qanun.

Zulfadhli juga mengakui bahwa dalam implementasi hingga saat ini, Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara memiliki beberapa kelemahan dan kendala. Oleh karena itu, perubahan dalam qanun tersebut dianggap perlu untuk memastikan kejelasan, relevansi, dan ketepatan dalam regulasi pertambangan.

Di sisi lain, Khairil Syahrial, yang memimpin Komisi II DPRA, menjelaskan beberapa perubahan yang diajukan dalam RDPU ini, salah satunya adalah perubahan pada Pasal 73. Pasal ini mengatur tentang kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melindungi masyarakat yang terdampak negatif secara langsung oleh kegiatan pertambangan. Masyarakat yang terkena dampak tersebut berhak mendapatkan ganti rugi yang layak sesuai peraturan perundang-undangan dan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan jika terjadi pelanggaran aturan.

Selain itu, peraturan juga menetapkan pembagian Dana Pengembangan Masyarakat sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah pertambangan. Pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyediakan dana ini, yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan setidaknya 1% dari harga total produksi yang dijual setiap tahun.

Perlu dicatat bahwa semua ketentuan yang ada saat ini akan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan perubahan yang diajukan dalam qanun ini. Sementara itu, pemegang IUP dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang telah diberikan sebelum perubahan qanun ini ditetapkan akan tetap berlaku hingga berakhirnya izin tersebut. Mereka diwajibkan untuk menyesuaikan usaha mereka dengan ketentuan yang baru diatur dalam qanun ini dalam waktu maksimal enam bulan setelah qanun ini ditetapkan.

Perubahan ini bertujuan untuk memberikan regulasi yang lebih sesuai, efektif, dan adil dalam mengelola sumber daya alam berharga ini, sehingga masyarakat Aceh dapat merasakan manfaatnya secara berkelanjutan sambil memastikan perlindungan terhadap lingkungan.[]

Komentar