Perempuan di Gaza Terpaksa Mengonsumsi Pil Penunda Menstruasi Akibat Krisis Air Bersih

PALESTINA – Situasi darurat di Gaza, Palestina, semakin mengkhawatirkan seiring dengan terus berlanjutnya konflik bersenjata dan pemboman oleh Israel. Salah satu masalah serius yang dihadapi oleh perempuan di wilayah ini adalah kelangkaan air bersih, sanitasi yang buruk, dan minimnya persediaan produk menstruasi, seperti pembalut dan tampon. Akibatnya, banyak perempuan di Gaza terpaksa mengonsumsi pil penunda menstruasi untuk mengatasi krisis ini.

Menurut laporan terbaru dari Al Jazeera, perempuan Gaza telah mengandalkan tablet norethisterone, yang biasanya diresepkan untuk kondisi medis seperti perdarahan menstruasi yang parah, endometriosis, dan nyeri haid. Dr. Walid Abu Hatab, seorang konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex, menjelaskan bahwa tablet ini dapat menjaga kadar hormon progesteron tetap tinggi, sehingga mencegah rahim melepaskan lapisannya dan menunda menstruasi.

Meski pil ini adalah obat resmi, pil penunda menstruasi ini memiliki efek samping seperti pendarahan vagina yang tidak teratur, mual, perubahan siklus menstruasi, pusing, dan perubahan suasana hati. Meskipun demikian, perempuan di Gaza tidak memiliki pilihan lain selain mengambil risiko ini di tengah serangan pemboman yang berlangsung.

Salma Khaled, seorang perempuan berusia 41 tahun yang tinggal di kamp pengungsi Deir el-Balah, mengalami dampak buruk pada siklus menstruasinya akibat serangan tanpa henti dari Israel. Ia mengungkapkan bahwa ia telah mengalami menstruasi dua kali dalam sebulan, yang sangat tidak normal, dan juga mengalami pendarahan hebat. Situasi ini semakin memburuk karena rumah-rumah yang dihuni oleh banyak orang mengalami krisis air bersih.

Kondisi yang memilukan ini membuat menjaga kebersihan menjadi sebuah kemewahan, bahkan hal yang mustahil dilakukan. Sementara itu, stok pembalut di banyak toko dan apotek semakin menipis karena kerusakan pada jalan utama di Jalur Gaza membuat pengiriman produk medis menjadi mustahil.

Samira al-Saadi, seorang perempuan yang mengungsi bersama keluarganya di sebuah sekolah yang dikelola PBB, juga berbagi kisah memilukan. Putrinya, yang baru berusia 15 tahun dan baru saja mengalami menstruasi pertamanya beberapa bulan lalu, kesulitan mengatur menstruasinya di lokasi pengungsian yang padat. Samira merasa khawatir bahwa mengonsumsi pil penunda menstruasi akan berdampak buruk pada kesehatan anak remajanya.

Serangan yang telah memasuki hari ke-25 ini telah mengakibatkan lebih dari 8.500 warga Palestina tewas, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Nevin Adnan, seorang psikolog dan pekerja sosial berbasis di Kota Gaza, menjelaskan bahwa perempuan sering mengalami gejala psikologis dan fisik pada hari-hari sebelum dan selama menstruasi. Gejala-gejala ini bisa memburuk dalam situasi stres seperti perang yang sedang berlangsung.

Adnan menekankan perlunya perawatan kesehatan mental dan fisik yang lebih baik bagi perempuan di Gaza, serta penanganan yang lebih efektif terhadap akar masalah konflik dan kekurangan sumber daya. Upaya perdamaian dan bantuan kemanusiaan yang lebih besar adalah kunci untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh warga sipil Gaza dalam situasi ini.[]

 

CNBC Indonesia

Komentar