Mahkamah Syar’iyah Aceh terima 268 perkara jinayat selama pandemi

Banda Aceh – Mahkamah Agung mencatat selama pandemi COVID-19 atau pada 2020 Mahkamah Syar’iyah (MS) di Aceh telah menerima dan menyidangkan sebanyak 268 perkara jinayat. 

“Sepanjang 2020 Mahkamah Syar’iyah di seluruh Aceh telah menerima 268 perkara jinayat atau meningkat 3,47 persen dari tahun 2019 sebanyak 229 perkara,” kata Ketua Mahkamah Agung Prof M Syarifuddin secara virtual di Banda Aceh, Selasa.

Pernyataan itu disampaikan Prof M Syarifuddin melalui pidatonya saat membuka kegiatan seminar Internasional dalam rangka Milad ke-19 Mahkamah Syar’iyah secara virtual di Banda Aceh.

Prof Syarifuddin mengatakan, sejak dikeluarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh, eksistensi Mahkamah Syar’iyah Aceh juga memasuki babak baru. pelimpahan kewenangan perkara jinayat telah dilaksanakan secara optimal.

Terbukti, kata Prof Syarifuddin, hasilnya cukup menggembirakan, di mana dari keseluruhan perkara jinayat yang ditangani, rasio tingkat produktivitas dalam memutuskan perkaranya mencapai angka 96,42 persen.

“Bahkan, dengan ketetapan waktu memutus perkara 100 persen, yakni diputus dalam tenggat waktu paling lama lima bulan sebagaimana  ketentuan Mahkamah Agung Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2014,” ujarnya.

Selain itu, kata Prof Syarifuddin, dari keseluruhan perkara yang sudah diputuskan Mahkamah Syar’iyah di Aceh itu semuanya telah berkekuatan hukum tetap, serta tidak ada upaya pada tahapan pengajuan peninjauan kembali. 

“Saya berharap semoga kinerja positif Mahkamah Syar’iyah di Aceh tetap dipertahankan, atau ditingkatkan pada masa-masa yang akan datang,” kata Prof Syarifuddin.

Dalam kesempatan ini, Prof Syarifuddin juga menuturkan, masyarakat Aceh terus memantau dan memperhatikan proses peradilan di Mahkamah Syar’iyah. Terlebih di era keterbukaan informasi, maka keadaan seperti ini tentunya menjadi pekerjaan rumah.

Terhadap perkembangan itu, Mahkamah Agung akan terus berusaha meningkatkan fungsi pembinaan dan pengawasan bagi badan peradilan yang ada di bawahnya, termasuk Mahkamah Syar’iyah. 

Karena, lanjut Prof Syarifuddin, pemanfaatan teknologi informasi di lembaga peradilan adalah harga mati yang tidak dapat ditawarkan. Artinya tidak boleh mundur atau mempertahankan cara kerja profesional yang kurang efektif maupun efisien.

“Momentum peringatan Milad Mahkamah Syar’iyah yang bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1443 ini harus dimaknai bahwa kita berani hijrah, berbuat yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,” demikian Prof Syarifuddin.

[Sumber : antaranews.com] 

Komentar