Revisi Qanun LKS Untuk Kembalikan Bank Konvensional Melanggar UUPA

Banda Aceh — Wacana revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah Syariah (LKS) sebagai upaya untuk mengembalikan bank konvensional agar beroperasi lagi di wilayah Provinsi Aceh dinilai bertentangan dan melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Ketentuan yang dilanggar seperti disebutkan dalam Pasal 126 UUPA ayat 1 yang berbunyi: Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam, dan ayat 2: Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.

“Sehubungan dengan munculnya wacana untuk melakukan perubahan/revisi Qanun LKS, maka kami Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Provinsi Aceh menyatakan keprihatinannya dan menolak dengan tegas dilakukannya perubahan terhadap Qanun LKS tersebut,” ujar Ketua Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Aceh Zulmahdi Hasan SAg MH, Kamis (18/5/2023).

Dijelaskannya, yang perlu diketahui, Qanun LKS tersebut adalah pelaksanaan dari ketentuan hukum yang telah diatur di dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 16 ayat (2) yang menyatakan, urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.

Selanjutnya Pasal 126 UUPA menyatakan Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam dan Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.

“Dengan demikian sebagai daerah yang telah diberikan Otonomi Khusus dengan menerapkan syariat Islam di Aceh, penerapan prinsip syariah dalam bermuamalah dan berbisnis adalah bentuk dari implementasi Pasal 126 UUPA tersebut,” terang Zulmahdi Hasan didampingi Ketua Dewan Wilayah Syarikat Islam Aceh Prof Dr Muhammad Siddiq Armia MH PhD.

Faktanya Qanun LKS tersebut sudah diajukan Judicial Review di Mahkamah Agug (MA) RI dengan Nomor Perkara 15 P/Hum/2022, dan Mahkamah Agung RI menolak Gugatan Penggugat dan menyatakan Qanun LKS tetap sah, makanya Qanun LKS tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

“Kita akui bahwa sistem Bank Syariah Indonesia masih lemah dan sebagaimana masyarakat Aceh mengetahui beberapa hari ke belakang telah terjadi error jaringan yang berdampak adanya kendala terhadap pelayanan nasabah, hal ini tentu bukan Qanun LKS-nya yang bermasalah, tetapi adalah pelayanan Bank BSI yang masih perlu kita benahi,” sebutnya.

Lagi pula bank syariah di Aceh bukan hanya BSI, ada juga Bank Aceh Syariah, BCA Syariah, Bank Syariah Bukopin, Bank BTPN Syariah, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat Indonesia dan banyak bank-bank lainnya yang beroperasi di Aceh telah menerapkan prinsip syariah.

Jika memang adanya nasabah yang dirugikan atas error-nya jaringan Bank BSI dapat saja mempertanyakan kerugian tersebut kepada Bank BSI, atau melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan dapat saja menggunakan mekanisme hukum yang ada, misalnya melakukan gugatan class action untuk meminta ganti kerugian.

“Dan jika ada penerapan prinsip hukum bank syariah yang masih bertolak belakang dengan fiqih dan ajaran Islam, maka mari bersama-sama kita luruskan dengan para ulama kita, Akademisi, OJK dan Dewan Syariah Nasional, dan Dewan Syariah Aceh,” tegasnya.

Penerapan bank syariah telah lama dan diatur secara nasional melalui UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan seharusnya penerapan Qanun LKS harus menjadi tool of social welfare (alat untuk mensejahterakan) bukan malah untuk dihapus dan ditiadakan.

“Merubah atau menghapus Qanun LKS sama saja kita menghapus Pasal 126 UUPA,” pungkas Zulmahdi Hasan. (IA)

INFOACEH.NET

Komentar